Jumat, 10 Juni 2016

Agency Theory (Teori Keagenan)



Menurut Jensen dan Meckling (2006), agency theory adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal).Agar hubungan kontraktual ini dapat berjalan dengan lancar, pemilik akan mendelegasikan otoritas pembuatan keputusan kepada manajer. Perencanaan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan manajer dan pemilik dalam hal konflik kepentingan inilah yang merupakaan inti dari Agency theory.Namun, untuk menciptakan kontrak yang tepat merupakan hal yang sulit diwujudkan.Oleh karena itu, investor diwajibkan untuk memberi hak pengendalian residual kepada manajer (residual control right), yakni hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat kontrak.
      Dalam teori keagenan, manajer didefinisikan sebagai agent dan pemegang saham sebagai principal.Dalam hal ini, para pemegang saham sebagai pemilik perusahaan atau principal mendelegasikan wewenang pembuatan keputusan dalam perusahaan kepada manajer yang merupakan agent para pemegang saham (Solomon, 2007).
Pendelegasian wewenang pengelolaan perusahaan dari principal kepada agent dipandang perlu untuk mencapai sistem pengelolaan perusahaan yang independen dan professional.Sebagaimana diketahui bahwa independensi merupakansalah satu komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai sistem tata kelola perusahaan yang baik. Dengan sistem tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan standar good corporate governance perusahaan akan mampu mencapaikinerja yang unggul.
      Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989 dalam Emirzon, 2007).Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi.Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko (risk adverse).Asumsi keorganisasianadalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektifitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent.Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan.

Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan diri sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prisipal dan agen.Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian, terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan di mana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki.
      Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara principal dan agent disebut dengan agency problems.Salah satu penyebab agency problems adalah adanya symmetric information.Asymetric information adalah ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agen, ketika principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen sebaliknya, agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan (Widyanigdyah, 2001)

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :
a.    Moral hazard, yaitu permalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
b.    Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana principal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar